Lain Padang lain belalang, lain lubuk lain ikan, lain nagari tentu lain pula adat, tradisi, dan kebiasaanya. Rasanya pribahasa itu sangat tepat menggambarkan tentang adat dan tradisi yang ada d ranah minang, Salah satunya tradisi Olek Balai di Nagari Pulasan, Sijunjung, Sumatera barat.
Tradisi Olek balai merupakan tradisi menolak bala seperti agar terhindar dari penyakit, tanaman dan ternak bisa berkembang dan lain sebagainya yang diadakan setahun sekali selepas hari raya Idul Fitiri.
Masyarakat begitu antusias dalam menyambut tradisi ini berbagai lapisan masyarakat ikut terlibat dari mulai tokoh adat, sampai masyarakat biasa baik laki-laki ataupun perempuan bahu membahu dalam mengawali pelaksanaan kegiatan olek balai dengan sejumlah prosesi adat. Pada dasarnya kegiatan ini mengarah lebih kepada memupuk jiwa bergotong
royong serta, mempererat silaturahmi antar sesama masyarakat. Sehingga
tidak ada dendam maupun perselisihan yang menahun terpendam ditengah
masyarakat.
Prosesi adat olek balai ini dimulai dua sampai 3 hari setelah hari raya Idul Fitri. Pada saat itu para tokoh adat mulai dari Panghulu, Monti, Malin dan Dubalang (ninik mamak-ninik mamak
pemangku adat di Minangkabau) akan berkumpul dan menggelar khutbah adat.
Kemudian pada hari ke lima belas setelah pertemuan itu datuak nan sapuluah memberi perintah kepada monti nan sapuluah untuk mencari kerbau, kerbau yang dipilih harus sesuai kriteria adat yaitu kerbau jantan jumlah pusar yang genap, kalau tidak genap atau ganjil dipercaya dapat menimbulkan pertengkaran di masyarakat kemudian memiliki tanduk yang tegak dan ekornya panjang dan berbulu.
Sepuluh hari sebelum acara puncak olek balai, kerbau akan dikembalakan oleh monti nan sapuluah. Sehari sebelum kerbau itu disembelih,
diserahkan kepada dubalang nan sapuluah, dijaga siang dan malam, tak
boleh hilang.
Kemudian pada puncak acara olek balai ini kerbau akan di sembelih pada dini harinya sebelum matahari terbit, daging dimasaka bersama-sama kemudian dihidangkan untuk makan siangnya.
setiap suku akan membawa samba yang dihidangkan menuju ke lokasi makan bajamba yang telah ditentukan. peran ini dilakukan oleh bundo kanduang atau para ibu-ibu lengkap dengan pakaian adatnya, Samba ini boleh dimakan sama siapa aja bahkan bundo kandung akan merasa kecewa jika makanan yang sudah dibawa tidak dimakan, maka tak heran masyarakat berduyun-duyun ke lokasi makan bajamba untuk makan bersama-sama. Pada saat itu pula prosesi melemparkan ampiang (beras ketan yang ditumbuk) juga dilakukan.
loading...
No comments:
Post a Comment