Perempuan selalu menjadi topik yang tidak kunjung
usai dibahas, diteliti dan diperbincangkan, tak terkecuali
perempuan Minangkabau. Perempuan dalam susunan masyarakat adat
Minangkabau memiliki peranan yang khas. Sistem kekerabatan
matrilinial atau benasab kepada ibu menjadi pembeda yang kontras
terkait posisi perempuan Minang dengan suku-suku lain yang ada di bumi
nusantara.
Tatanan ideal adat Minangkabau telah mengatur sedemikian rupa peran
perempuan dalam kontek kemasyarakatan. Anak gadis Minang dalam
perspektif adat, pada suatu ketika akan menjadi Bundo Kanduang.
Pengertian Bundo Kanduang merujuk kepada perkumpulan
perempuan-perempuan yang paling tua pada suatu kaum. Ada beberapa hal
terkait dari fungsi Bundo Kanduang yaitu: sebagai penerima waris dari
Pusako Tinggi, menjaga keberlangsungan keturunan, dan sebagai
perlambang moralitas dari masyarakat Minangkabau.
Perempuan dalam sudut pandang adat dan kebudayaan, tidak akan bisa
lepas dari kaumnya. Hal ini sejalan dengan semangat dari adat
Minangkabau yang sangat asing dengan individualisme. Limpapeh rumah nan gadang,
menjelaskan perempuan sebagai simbol dari runtuh bangunnya sebuah
kaum. Anggapan bahwa baik-buruknya sebuah kaum tergantung dari
perempuan-perempuannya sangat sesuai dalam kontek pembicaraan ini.
Meski demikian, perlu disadari bahwa praktik adat dan kebudayaan pada
sebuah susunan masyarakat tidak ada yang mampu berjalan secara ekslusif,
bahkan untuk Minangkabau sekalipun. Kesadaran akan hal ini juga
sudah termaktub dalam pepatah lama yang mengatakan “ sakali aia gadang, sakali tapian barubah”
Realitas masyarakat kontemporer menunjukan kecendrungan untuk
menjadi global. Geliat perubahan zaman terasa begitu dinamis. Tentu
saja hal ini turut memengaruhi tatanan masyarakat Minang hari ini.
Modernitas adalah sesuatu yang ikut merasuki relung-relung kehidupan
anak gadih Minangkabau. Batas yang tegas antara peradaban barat dengan
timur terasa begitu kering untuk dijadikan pondasi dalam
menganalisis praktis kehidupan perempuan Minang. Karena sejatinya,
setiap gejala yang terjadi di barat sana, tinggal menunggu persoalan
waktu untuk sempai pada kehidupan anak nagari Minangkabau.
Saya memberanikan diri untuk berpendapat, bahwa sebagian besar
perempuan Minang sudah sepenuhnya lepas dan berjarak dari adat dan
kebudayaannya. Pribadi perempuan Minang tempo dulu yang selalu
mencitrakan tentang keanggunan, kewibawaan, simbol moralitas, beradat,
bermartabat tidak lagi bisa kita temukan dalam praksis kehidupannya.
Anak gadih Minang hari ini adalah individu-individu yang sebagian
besar tengah mengalami bias dengan tradisi dan kebudayaannya sendiri.
Selain identifikasi bahasa, rasanya rumit untuk melihat
“keminangkabauan” mereka.
Ada beberapa beberapa hal yang terasa begitu mengganjal, misalkan
terkait cara bersalaman dengan orang lain. Tidak satu literatur pun
baik yang termaktub di dalam tambo, dendang saluang, rebab dan kaba
yang mengatakan cara orang Minang bersalaman dengan orang lain itu
dengan cara membungkukkan badan, apalagi sampai cium tangan. Kalau
pertimbangannya adalah rasa hormat, Minangkabau tidak pernah
mengajarkan cara yang semacam itu. Penekanan kebudayaan
Minangkabau tentang tata cara hormat-menghormati adalah melalui
kehalusan tata bahasa yang dipergunakan. Bukan dengan lewat laku
atau sikap yang membungkuk-bungkuk tidak karuan.
Petuah adat yang mengatakan raso dibaok naik, pareso dibaok turun. Orang minang bukanlah tipikal manusia yang bukak kulit tampak isi,
dan bukan orang yang bernalar hitam putih. Mereka cendrung berada
pada zona abu-abu terkait sikapnya dalam suatu persoalan. Itulah
kenapa, dulunya orang minang dianggap sebagai suatu suku yang sangat
bagus ketika berhadapan dengan hal-hal yang berbau diplomasi.
Nilai-nilai yang seperti itu tidak lagi dikenali oleh sebagian besar
kita hari ini. Generasi Minangkabau adalah generasi yang tidak lagi
mengerti perkara yang demikian. Sudah modern, sudah canggih. Lirik
lagu “senandung perempuan negeriku” yang mengatakan perempuan mesti tau dihulu gabak hujan, tau dikilek camin pacah, tau diriak rasah zaman, tau dihulu persoalan rasanya menggambarkan sesuatu negeri bernama entah berantah.
Mencermati persoalan-persoalan yang dipaparkan pada paragraf
sebelumnya, kiranya ada beberapa hal yang menjadi sebab musabab
persoalan itu terjadi, pertama, perjumpaan yang sangat singkat
generasi Minang abad 21 dengan kebudayaannya sendiri. Pada susunan
pendidikan formal, kebudayaan asali itu hanya mewujud dalam mata
pelajaran BAM yang notabene hanya menjadi muatan lokal pada susunan
kurikulum. Ditambah lagi dengan gurunya yang sewaktu kuliah mengambil
jurusan sastra daerah karena accidental. Bukan atas pilihan yang sadar.
Selanjutnya, adanya anggapan sebagian cerdik pandai, bahwa adat itu
sendiri sudah kehilangan potensi untuk mengatur masyarakat modern.
Pendapat cerdik pandai yang dikutip barusan, mungkin ada benarnya,
namun saya tidak sepenuhnya sepakat. Paradigma terhadap adat, tradisi
dan kebudayaan harus kembali disegarkan. Memandang kebudayaan,
tidak harus berada dalam pengertian tunggal, yaitu seperangkat aturan
yang terasa kuno dan menyebalkan.
Adat, tradisi dan kebudayaan bisa diartikan sebagai seperangkat
nilai-nilai untuk mengisi ruang hampa masing-masing individu yang tidak
pernah mampu diberikan oleh modernitas, yaitu makna. Kesadaran
yang demikian akan membuat kita menjalani hingar bingar kehidupan
modern, tapi tetap memiliki makna hidup yang otonom dan berasal dari
kultur kita sendiri.
Setiap diskursus terkait adat dan kebudayaan Minangkabau dengan segala
yang terkandung didalamnya adalah sebuah keinsyafan, bahwa kita sedang
berdiskusi tentang susunan masyarakat yang sudah terjadi berpuluh-puluh
tahun yang silam. Rasanya tidak adil menjustifikasi setiap kejanggalan
dari tingkah laku tesebut sebagai tindakan yang ahistoris dan merupakan
tanggung jawab mereka sepenuhnya. Ada dis-informasi yang sistematis,
berkelanjutan dan langgeng yang membuat mereka terperangkap dalam keadaan yang seperti itu.
Tantangan ke depan adalah sebisa mungkin menahan diri untuk tidak
menghakimi setiap kejanggalan tersebut, tapi ikut serta dalam proses
belajar tentang betapa kesadaran akan adat dan kebudayaan itu bukanlah
sesuatu yang omong kosong. Sebagaimana Inggit Gunarsih berkata kepada
Bung karno kuantar kau ke gerbang, ini hanya semacam usaha untuk menghantarkan pembaca pada gerbang diskusi yang lebih luas.
loading...
No comments:
Post a Comment