Apo Nan Baru !!!

Post Top Ad

Your Ad Spot

Tuesday 14 January 2020

Peran Perempuan dalam sistem Matrilineal Minangkabau

Perempuan selalu men­ja­di topik yang tidak kunjung usai di­bahas, diteliti dan di­per­bin­cangkan, tak terke­cua­li pe­rempuan Minangkabau. Pe­­­rempuan dalam susunan ma­syarakat adat Mi­nang­ka­bau memiliki peranan yang khas. Sistem kekerabatan ma­tri­linial atau benasab kepa­da ibu menjadi pembeda yang kon­tras terkait posisi perem­puan Minang dengan suku-suku lain yang ada di bumi nusantara.



Tatanan ideal adat Mi­nang­kabau telah mengatur sedemikian rupa peran pe­rempuan dalam kontek kema­syarakatan. Anak gadis Mi­nang dalam perspektif adat, pada suatu ketika akan men­jadi Bundo Kanduang. Pe­nger­tian Bundo Kanduang merujuk kepada per­kum­pulan perempuan-perempuan yang paling tua pada suatu kaum. Ada beberapa hal ter­kait dari fungsi Bundo Kan­duang yaitu: sebagai pene­rima waris dari Pusako Tinggi, menjaga keberlangsungan keturunan, dan sebagai per­lambang moralitas dari ma­sya­rakat Minangkabau.

Perempuan dalam sudut pandang adat dan kebu­da­yaan, tidak akan bisa lepas dari kaumnya. Hal ini sejalan dengan semangat dari adat Minangkabau yang sangat asing dengan individualisme. Limpapeh rumah nan ga­dang, menjelaskan perem­puan sebagai simbol dari runtuh bangunnya sebuah kaum. Anggapan bahwa baik-buruknya sebuah kaum ter­gan­tung dari perempuan-pe­rem­puannya sangat sesuai da­lam kontek pembicaraan ini.

Meski demikian, perlu disadari bahwa praktik adat dan kebudayaan pada sebuah susunan masyarakat tidak ada yang mampu berjalan secara ekslusif, bahkan untuk Mi­nang­kabau sekalipun. Kesa­daran akan hal ini juga sudah termaktub dalam pepatah lama yang mengatakan “ saka­li aia gadang, sakali tapian barubah”

Realitas masyarakat kon­tem­porer menunjukan kecen­drungan untuk menjadi glo­bal. Geliat perubahan zaman terasa begitu dinamis. Tentu saja hal ini turut memengaruhi tatanan masyarakat Minang hari ini. Modernitas adalah se­suatu yang ikut merasuki relung-relung kehidupan anak gadih Minangkabau. Batas yang tegas antara per­ada­ban barat dengan timur terasa begitu kering untuk dija­dikan pondasi dalam me­nga­nalisis prak­tis kehidupan perempuan Minang. Karena sejatinya, setiap gejala yang terjadi di barat sana, tinggal me­nung­gu persoalan waktu untuk sempai pada kehi­dupan anak nagari Mi­nangkabau.

Saya memberanikan diri untuk berpendapat, bahwa sebagian besar pe­rem­puan Minang sudah se­pe­nuhnya lepas dan ber­jarak dari adat dan ke­bu­dayaannya. Pribadi perem­puan Minang tempo dulu yang selalu mencitrakan tentang keanggunan, kewi­bawaan, simbol moralitas, beradat, bermartabat tidak lagi bisa kita temukan dalam praksis kehi­du­pannya. Anak gadih Mi­nang hari ini adalah indi­vidu-individu yang seba­gian besar tengah menga­lami bias dengan tradisi dan kebu­dayaannya sen­diri. Selain identifikasi bahasa, rasanya rumit un­tuk melihat “ke­minang­kabauan” mereka.

Ada beberapa bebe­rapa hal yang terasa begitu meng­gan­jal, misalkan ter­kait cara ber­salaman de­ngan orang lain. Tidak satu literatur pun baik yang termaktub di dalam tam­bo, dendang saluang, re­bab dan kaba yang menga­ta­kan cara orang Minang ber­sa­la­man dengan orang lain itu de­ngan cara mem­bung­kuk­kan badan, apa­lagi sampai cium tangan. Kalau per­tim­ba­ngan­nya adalah rasa hor­mat, Mi­nangkabau tidak per­nah me­ngajarkan cara yang se­ma­cam itu. Penekanan ke­bu­­da­ya­an Minangkabau ten­tang ta­ta cara hormat-meng­hor­mati ada­lah melalui keha­lu­san tata bahasa yang diper­gu­nakan. Bukan dengan lewat la­ku atau sikap yang mem­bung­kuk-bungkuk tidak ka­ruan.

Petuah adat yang menga­ta­kan raso dibaok naik, pareso dibaok turun. Orang minang bukanlah tipikal manusia yang bukak kulit tampak isi, dan bukan orang yang ber­na­lar hitam putih. Mereka cen­drung berada pada zona abu-abu terkait sikapnya dalam suatu persoalan. Itulah kena­pa, dulunya orang minang dianggap sebagai suatu suku yang sangat bagus ketika ber­hadapan dengan hal-hal yang berbau diplomasi.

Nilai-nilai yang seperti itu tidak lagi dikenali oleh seba­gian besar kita hari ini. Gene­rasi Minangkabau adalah generasi yang tidak lagi me­nger­ti perkara yang demikian. Sudah modern, sudah cang­gih. Lirik lagu “senandung perempuan negeriku” yang mengatakan perempuan mesti tau dihulu gabak hujan, tau di­kilek camin pacah, tau di­riak rasah zaman, tau dihulu persoalan rasanya meng­gam­barkan sesuatu negeri ber­nama entah berantah.  

Mencermati persoalan-persoalan yang dipaparkan pada paragraf sebelumnya, kiranya ada beberapa hal yang menjadi sebab musabab per­soalan itu terjadi, pertama, perjumpaan yang sangat sing­kat generasi Minang abad 21 dengan kebudayaannya sen­diri. Pada susunan pendidikan formal, kebudayaan asali itu hanya mewujud dalam mata pelajaran BAM yang nota­bene hanya menjadi muatan lokal pada susunan kuri­kulum. Ditambah lagi dengan gurunya yang sewaktu kuliah mengambil jurusan sastra daerah karena accidental. Bukan atas pilihan yang sadar.

Selanjutnya, adanya ang­ga­pan sebagian cerdik pandai, bah­wa adat itu sendiri sudah kehi­langan potensi untuk me­ngatur masyarakat mo­dern. Pen­dapat cerdik pandai yang di­kutip barusan, mung­kin ada be­narnya, namun saya tidak se­penuhnya sepakat. Para­dig­ma terhadap adat, tradisi dan kebudayaan harus kembali disegarkan. Meman­dang ke­bu­­dayaan, tidak harus berada da­lam pengertian tung­gal, yaitu seperangkat aturan yang te­rasa kuno dan menye­bal­kan.

Adat, tradisi dan kebu­dayaan bisa diartikan sebagai seperangkat nilai-nilai untuk mengisi ruang hampa masing-masing individu yang tidak pernah mampu diberikan oleh modernitas, yaitu mak­na. Kesadaran yang demikian akan membuat kita menjalani hingar bingar kehidupan mo­dern, tapi tetap memiliki mak­na hidup yang otonom dan berasal dari kultur kita sendiri.

Setiap diskursus terkait adat dan kebudayaan Minang­kabau dengan segala yang terkandung didalamnya ada­lah sebuah keinsyafan, bahwa kita sedang berdiskusi tentang susunan masyarakat yang sudah terjadi berpuluh-puluh tahun yang silam. Rasanya tidak adil menjustifikasi se­tiap kejanggalan dari tingkah laku tesebut sebagai tindakan yang ahistoris dan merupakan tanggung jawab mereka sepe­nuhnya. Ada dis-informasi yang sistematis, berkelanjutan dan langgeng yang membuat mereka terperangkap dalam keadaan yang seperti itu.

Tantangan ke depan ada­lah sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menghakimi setiap kejanggalan tersebut, tapi ikut serta dalam proses belajar tentang betapa kesa­daran akan adat dan kebu­dayaan itu bukanlah sesuatu yang omong kosong. Seba­gaimana Inggit Gunarsih ber­kata kepada Bung karno ku­antar kau ke gerbang, ini hanya semacam usaha untuk menghantarkan pembaca pa­da gerbang diskusi yang lebih luas. 

 

loading...

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages