Apo Nan Baru !!!

Post Top Ad

Your Ad Spot

Saturday 18 April 2020

Apakah Suku Minangkabau Mempunyai Aksara Asli Minang ?

Pernahkah anda terbesit di pikiran apakah bahasa Minang mempunyai Tulisan sendiri ?  pertanyaan itu muncul mengingat suku minangkabau mempunyai segudang budaya, bahasa dan adat yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi



Sama seperti Bahasa Lain di Dunia misalnya ada huruf hiragana dan katakana sebagai huruf jepang, ada huruf Hanzi untuk orang Jepang dan lain sebagainya bahkan bahasa Lokal yang berada di Indonesia juga Memiliki Seperti Suku Jawa dengan Hanacaraka suku sunda dengan Jenis askara abugida, bahkan suku madura dan bugis pun mempunyai aksara aslinya, lalu bagaimana dengan suku Minangkabau? 

Keberadaan Aksara Minangkabau di Masyarakat masih simpang siur keberadaanya mengingat tradisi minang yang memiliki budaya lisan dominan daripada tulisan? ada sudah mempercayai jika aksara asli Minangkabau Sudah ada dan ditemukan hal itu bukan tanpa alasan karena diperkuat dengan bukti Kitab Tambo Alam milik Datuk Suri Dirajo dan Datuk Bandaro Kayo di Pariangan, Padang Panjang yang diseminarkan di Priangan padang panjang pada tahun 1970.

Tambo Alam itu ditulis dalam aksara Minang, tetapi menariknya bukan seperti kitab-kitab tambo yang biasanya ditulis dalam tulisan Arab Melayu. Di dalam kitab tambo itu antara lain tertulis Undang-Undang Adat.

Aksara Minang itu berjumlah 15 buah yang terdiri dari: a ba sa ta ga da ma ka na wa ha pa la ra nga (bandingkan dengan Surat Ulu di Palembang yang menurut Drs. Zuber Usman terdiri dari 16-17 huruf).

Jika huruf-huruf Minang itu diberi titik di atasnya, maka di baca: i bi si ti gi di mi ki ni wi hi pi li ri ngi. Dan kalau diberi titik di bawahnya bacaannya berubah menjadi u bu su tu gu du mu ku nu wu hu pu lu ru ngu.

Selanjutnya kalau diberi bercagak (bertanda v) di atasnya dibaca: e be se te ge de me ke ne we he pe le re nge. Kalau tanda "v" tersebut dipindahkan ke bawah harus dibaca: o bo so to go do mo ko no wo ho po lo ro ngo.

Tapi kalau diberi titik di samping kanan, maka ia menjadi huruf mati: b s t g d m k n w h p l r ng.

Jika diperhatikan, aksara Minang ini mirip dengan huruf Lontara, yaitu huruf asli yang ada di Makasar (Ujung Pandang). Cuma jumlahnya yang berbeda. Aksara Minang berjumlah 15, sedangkan huruf Lontara berjumlah 23.

Kemudian Aksara Minang "Ruweh Buku" yang ditemukan di nagari Silek Aia (Sulit Air).

Menurut Ketua Lembaga Studi Minangkabau di Padang Drs Denito Darwas Dt. Rajo Malano, Kitab Tambo Ruweh Buku yang ditemukan di nagari Sulit Air juga ditulis dalam aksara Minang. Berisi ajaran adat Minang nukilan Datuk Suri Dirajo di Pariangan Padang Panjang juga.

Kemudian entah pada zaman apa dan tahun berapa, kitab Ruweh Buku itu dibawa orang ke Sulit Air dan dimiliki oleh Datuk Tumanggung secara turun temurun.

Terakhir dimiliki oleh Syamsuddin Taimgelar Pakih Sutan yang berusia 75 tahun pada tahun 1980. Ia menerima kitab itu dari mamaknya Rasad gelar Datuk Tumanggung pada tahun 1921. Sedangkan Rasad Dt Tumanggung menerimanya pula dari Datuk Tumanggung V. Begitu seterusnya jawek bajawek dulu sampai sekarang.

Tambo Ruweh Buku sudah ada sejak awal disusunnya peraturan atau ketentuan-ketentuan adat Minangkabau yang disebutkan sebagai kerajaan "BUEK".

Beda dengan aksara Minangkabau yang ditemukan di Pariangan, Padang Panjang, maka aksara Minang "Ruweh Buku" di Sulit Air, kata demi kata dideretkan ke bawah kalau hendak membentuk kalimat. Mirip dengan huruf Katakana (Jepang), tapi jika hendak merangkaikan huruf jadi satu kata tetap dideretkan ke kanan.

Jumlah hurufnya 21 buah lengkap dengan tanda baca. Beda dengan aksara Minang di Pariangan, maka huruf Ruweh Buku ini memiliki huruf hidup a i u o dan selebihnya huruf mati semua.

Kalau kita ingin menuliskan ta bukanlah gabungan huruf t dengan huruf a, melainkan ambillah huruf t kemudian diberi garis di atasnya. Kalau menulis ti taruhlah garis di bawah huruf t tersebut. Menuliskan tu maka sebelum huruf t bubuhkanlah garis miring terlebih dahulu. Menuliskan te pakailah garis miring setelah huruf t, sedangkan kalau ingin membuat to pakailah titik di atas huruf t. Begitu seterusnya.

Aksara Minang Ruweh Buku tersebut juga dilengkapi dengan tanda baca, seperti tanda tanya, tanda seru, titik, koma, bagi, tambah, kali, kurang.

Menurut Syamsuddin Taim gelar Pakih Sutan, Tambo Ruweh Buku ditulis di atas lembaran kulit kayu sepanjang 55 cm atau satu hasta lebih sedikit. Ada 48 halaman dan ditulis menggunakan getah kayu yang berwarna hitam.

Ada juga versi yang mengatakan Minangkabau juga memiliki aksara yang terdapat pada artefak di menhir serta motif dan simbol-simbol di Rumah Gadang, seperti yang ditemukan di Abai, Solok Selatan. Namun itu juga masih perlu penelitian lebih lanjut, termasuk penyebab aksara itu tiba-tiba menghilang.

Aksara Minangkabau menuai beberapa kritik dari kalangan budayawan dan filolog (antara lain Dr. Uli Kozok). Hal ini terutama karena tidak adanya penguatan mengenai keberadaan aksara tersebut yang membuat ragu. Argumen-argumen yang muncul mengenai aksara ini antara lain[2]:  
  • Kitab yang disebut-sebut memuat aksara tersebut tidak pernah diperlihatkan/dipublikasikan. 
  • Aksara Tambo Alam tidak lengkap, terdapat huruf-huruf yang tidak ada yaitu huruf ca, ja, nya, dan ya. Padalah Bahasa Minangkabau menggunakan fonem-fonem tersebut. 
  • Tanda baca dalam Aksara Minang khususnya Tambo Alam sangat terbatas hanya lima buah pengubah vokal dasar saja. Padahal aksara-aksara Sumatera setidaknya memiliki sandangan/tanda baca [–ng] sehingga untuk menulis kata “gadang” misalnya, hanya dibutuhkan dua huruf. 
  • Aksara Ruweh Buku bersistem abjad, padahal semua aksara nusantara yang berasal dari turunan Pallawa atau Kawi bersistem Abugida. Juga mengenai adanya simbol-simbol matematis dalam aksara ini yang mana ini bertolak belakang dengan keadaan aksara nusantara yang bahkan sebagian tidak memiliki sistem angka. Jadi ada kemungkinan bahwa aksara ini merupakan hasil rekaan. 
  • Terlepas dari semua itu, disinyalir Minangkabau memang pernah memiliki sistem aksara sendiri mengingat ditemukannya prasasti Adityawarman di wilayah Sumatera Barat. Namun aksara ini mungkin sudah lenyap sama sekali dan tergantikan sepenuhnya oleh aksara Jawi.
para  akademisi di Universitas Andalas kini tengah melakukan penelitian dan pencarian tentang keberadaan aksara minang itu yang melibatkan ahli paliografi, filolog, dan arkeolog. 

Mudah-mudah segera di ketemukan dan menghilangkan perdebatan ini dan bisa kita dan anak cucu kita bisa mempelajari aksara minangkabau ini. 

Sumber : 

loading...

No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages